Oleh : Muhammad Ryzki Wiryawan
Sejarawan muda (klab Aleut)
Murid-murid itu berbaris di depan gurunya. Satu persatu
bergiliran menyodorkan punggung tangannya, memperlihatkan kuku jarinya
kepada sang guru. Barang siapa yang kukunya terlalu panjang dan kotor
siap-siap saja tangannya terkena pukulan penggaris sang guru. Apabila
anda pernah mengalami situasi ini di masa kecil, anda telah mengalami
jejak peninggalan kolonial yang dikenal sebagai Hollands Fatsoen.
Fatsoen tidak hanya memasuki jiwa sosial dan politik Hindia Belanda. Selain dalam kehidupan sehari-hari dan politik rust en orde
yang diterapkan secara kaku. Belanda juga merancang lingkungan yang
menunjang konsep ini. Tata kota dirancang sedemikian teratur. Termasuk
di dalamnya pengaturan zonasi berbasis ras untuk menghindari pembauran
dan resiko kekacauan. Akibatnya, masyarakat pribumi merasakan
diskriminasi yang luar biasa atas tindakan tersebut.
Seperti sudah dibahas pada tulisan sebelumnya, jejak penjajahan
Belanda tidak hanya berbekas pada peninggalan-peninggalan fisik semata.
Jejak-jejak penjajahan selama puluhan hingga ratusan tahun itu masih
bisa ditemukan dalam diri manusia Indonesia. Jejak itu berwujud
peradaban Belanda yang telah merasuk dalam kejiwaan bangsa ini, yang
menurut Subagio Sastrowardoyo terdiri dari : Hollands Fatsoen, Hollands denken, dan Kankergeest.
Fatsoen berarti kepatutan. Dalam peradaban Belanda, kepatutan sangat
diutamakan dalam setiap segi kehidupan, khususnya yang terjelma dalam
segi kehidupan lahir. Tata tertib yang ketat dan kaku berlaku pada
kesibukan sehari-hari seperti makan, berpakaian, dan pemeliharaan rumah
beserta halaman. Orang Belanda ini sangat dikenal apik dalam merawat
rumahnya di luar dan dalam, penghormatan akan tata cara makan hingga
kesukaanya berpakaian serba resmi dan lengkap. Penuturan kata-kata dan
etika pertemuan keluarga sangat dijunjung tinggi menurut norma fatsoen. Sebaliknya, tingkah laku yang bebas tak peduli dan bicara lantang nyaring diperlihatkan para Indische Mensens,
orang-orang Belanda yang baru pindah dari jajahannya di Hindia, yang
tidak begitu terikat kepada tata tertib pergaulan di Negeri Belanda.
Mereka dicap kawan se-negerinya sebagai orang-orang yang tidak tahu
asas kepatutan.
Namun bagaimanapun juga, di negeri ini Fatsoen pernah dijunjung
sebagai ukuran dan cita-cita yang tinggi dalam pergaulan di masyarakat
walau pelaksanaanya tidak sekaku di negara aslinya. Peninggalan Fatsoen
ini masih bisa kita temukan pada perilaku nenek atau kakek kita yang
dulunya pernah mendapat pendidikan di zaman Hindia Belanda. Mereka
menunjukan segi formal pada berbagai perilakunya seperti duduk dan makan
di meja dengan keluarga, menulis surat dengan bentuk huruf yang indah,
becara dengan beradab dengan bahasa belanda (beschaafd nederlands),
berpakaian dengan dasi dan jas tertutup, sampai kepada tata cara
menghadap pembesar yang melalui undak usuk hierarki jabatan dan
kedudukan. Yang terakhir ini masih bisa kita temukan di zaman sekarang.
Dalam buku-buku pelajaran sekolah yang diterbitkan semasa kolonial, kita
dapat melihat dengan jelas bagaimana Fatsoen ditekankan dalam kehidupan
sehari-hari baik di sekolah, di rumah, pergaulan hingga dalam berlalu
lintas.
Memang ada segi positif dari Fatsoen ini, sampai sekarang
kita merindukan keteraturan kota dan lingkungan khas Belanda, selain
kehidupan sehari-hari yang bisa berjalan sesuai konsep rust en orde (Keamanan
dan Ketertiban) yang pernah diterapkan di Hindia Belanda. Namun
negatifnya, dalam masyarakat yang konservatif itu jangan harap ada
lonjakan, keberanian untuk keluar dari garis norma yang telah
ditentukan. Dalam hal ini konsep fatsoen mungkin sejalan dengan
kebudayaan Jawa sehingga dalam beberapa kasus Belanda bisa sangat
nyaman berada di kawasan tersebut. Pengaruh peradaban Belanda ini
terlihat sekali pada pemikiran Soetomo, sang pendiri Budi Utomo yang
beranggapan bahwa masyarakat ideal layaknya sebuah orkes gamelan, dimana
setiap orang dan kelompok memainkkan peran yang telah ditetapkan bagi
mereka sesuai keselarasan dan melodi yang telah ditetapkan bagi orkes
itu. Jangan harap kita menemukan aksi improvisasi dalam permainan
gamelan...
Tentu saja terdapat orang-orang yang tidak bisa hidup dalam kondisi
demikian. Contohnya adalah Tjipto dan Soekarno, yang menolak sistem
pemerintahan Belanda yang kaku dan diskriminatif. Tindakan mereka
beserta beberapa tokoh pergerakan lainnya telah mengguncangkan
kestabilan masyarakat Hindia Belanda saat itu. Tindakan mereka yang
disebut "radikal" telah menyinggung dan mengguncangkan kestabilan
masyarakat Kolonial Hindia Belanda yang sudah mantap mengikuti kepatutan
Belanda itu. Sehingga pada waktu itu tidak sedikit kalangan menengah
dan bangsawan Indonesia yang merasa terusik dengan gaya nyeleneh Tjipto,
Soekarno atau Douwes Dekker dalam memperjuangkan keadilan bagi kaum
pribumi. Tidak aneh apabila pemerintah segera mengganjar mereka atas
dasar tuduhan pelanggaran asas rust en orde.
Selalu terdapat dua sisi pada mata uang. Selalu ada segi positif dan
negatif dari suatu peradaban. Perlu diakui bahwa pasca kemerdekaan,
masyarakat Indonesia berusaha mendobrak segala batasan perilaku yang
selama ini diterapkan kepada mereka. Segala hal yang berbau Belanda
berusaha dihilangkan termasuk formalitas ala Hollands Fatsoen. Namun disayangkan, beberapa hal positif yang terkandung dalam Fatsoen turut dihilangkan seperti tata perilaku, kedisiplinan, dan keteraturan. Sebaliknya, Sisi negatif Fatsoen
seperti formalitas berlebihan yang diterapkan ketika menghadap pejabat
malah dipertahankan. Akibatnya, ketika masyarakat mengalami degradasi
moral seperti saat ini, kepercayaan mereka terhadap norma dan institusi
menjadi hilang. Kehendak pribadi menjadi penguasa atas segalanya
menghasilkan kekacauan di masyarakat. Lantas apakah fatsoen perlu diberlakukan lagi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar