Sabtu, 03 November 2012

HOLLANDS FATSOEN

Oleh : Muhammad Ryzki Wiryawan
Sejarawan muda (klab Aleut)

Murid-murid itu berbaris di depan gurunya. Satu persatu bergiliran menyodorkan punggung tangannya,  memperlihatkan kuku jarinya kepada sang guru. Barang siapa yang kukunya terlalu panjang dan kotor siap-siap saja tangannya terkena pukulan penggaris sang guru. Apabila anda pernah mengalami situasi ini di masa kecil, anda telah mengalami jejak peninggalan kolonial yang dikenal sebagai Hollands Fatsoen.


Fatsoen tidak hanya memasuki jiwa sosial dan politik Hindia Belanda. Selain dalam kehidupan sehari-hari dan politik rust en orde yang diterapkan secara kaku. Belanda juga merancang lingkungan yang menunjang konsep ini. Tata kota dirancang sedemikian teratur. Termasuk di dalamnya pengaturan zonasi berbasis ras untuk menghindari pembauran dan resiko kekacauan. Akibatnya, masyarakat pribumi merasakan diskriminasi yang luar biasa atas tindakan tersebut.


 Seperti sudah dibahas pada tulisan sebelumnya, jejak penjajahan Belanda tidak hanya berbekas pada peninggalan-peninggalan fisik semata. Jejak-jejak penjajahan selama puluhan hingga ratusan tahun itu masih bisa ditemukan dalam diri manusia Indonesia. Jejak itu berwujud peradaban Belanda yang telah merasuk dalam kejiwaan bangsa ini, yang menurut Subagio Sastrowardoyo terdiri dari : Hollands Fatsoen, Hollands denken, dan Kankergeest.

 

Fatsoen berarti kepatutan. Dalam peradaban Belanda, kepatutan sangat diutamakan dalam setiap segi kehidupan, khususnya yang terjelma dalam segi kehidupan lahir. Tata tertib yang ketat dan kaku berlaku pada kesibukan sehari-hari seperti makan, berpakaian, dan pemeliharaan rumah beserta halaman. Orang Belanda ini sangat dikenal apik dalam merawat rumahnya di luar dan dalam, penghormatan akan tata cara makan hingga kesukaanya berpakaian serba resmi dan lengkap. Penuturan kata-kata dan etika pertemuan keluarga sangat dijunjung tinggi menurut norma fatsoen. Sebaliknya, tingkah laku yang bebas tak peduli dan bicara lantang nyaring diperlihatkan para Indische Mensens, orang-orang Belanda yang baru pindah dari jajahannya di Hindia, yang tidak begitu terikat kepada tata tertib pergaulan di Negeri Belanda. Mereka dicap kawan se-negerinya sebagai orang-orang yang tidak  tahu asas kepatutan.

Namun bagaimanapun juga, di negeri ini Fatsoen pernah dijunjung sebagai ukuran dan cita-cita yang tinggi dalam pergaulan di masyarakat walau pelaksanaanya tidak sekaku di negara aslinya. Peninggalan Fatsoen ini masih bisa kita temukan pada perilaku nenek atau kakek kita yang dulunya pernah mendapat pendidikan di zaman Hindia Belanda. Mereka menunjukan segi formal pada berbagai perilakunya seperti duduk dan makan di meja dengan keluarga, menulis surat dengan bentuk huruf yang indah, becara dengan beradab dengan bahasa belanda (beschaafd nederlands), berpakaian dengan dasi dan jas tertutup, sampai kepada tata cara menghadap pembesar yang melalui undak usuk hierarki jabatan dan kedudukan. Yang terakhir ini masih bisa kita temukan di zaman sekarang. Dalam buku-buku pelajaran sekolah yang diterbitkan semasa kolonial, kita dapat melihat dengan jelas bagaimana Fatsoen ditekankan dalam kehidupan sehari-hari baik di sekolah, di rumah, pergaulan hingga dalam berlalu lintas.



Memang ada segi positif dari Fatsoen ini, sampai sekarang kita merindukan keteraturan kota dan lingkungan khas Belanda, selain kehidupan sehari-hari yang bisa berjalan sesuai konsep rust en orde (Keamanan dan Ketertiban) yang pernah diterapkan di Hindia Belanda. Namun negatifnya, dalam masyarakat yang konservatif itu jangan harap ada lonjakan, keberanian untuk keluar dari garis norma yang telah ditentukan. Dalam hal ini konsep fatsoen mungkin sejalan dengan kebudayaan Jawa sehingga dalam beberapa kasus Belanda bisa sangat nyaman berada di kawasan tersebut. Pengaruh peradaban Belanda ini terlihat sekali pada pemikiran Soetomo, sang pendiri Budi Utomo yang beranggapan bahwa masyarakat ideal layaknya sebuah orkes gamelan, dimana setiap orang dan kelompok memainkkan peran yang telah ditetapkan bagi mereka sesuai keselarasan dan melodi yang telah ditetapkan bagi orkes itu. Jangan harap kita menemukan aksi improvisasi dalam permainan gamelan...

Tentu saja terdapat orang-orang yang tidak bisa hidup dalam kondisi demikian. Contohnya adalah Tjipto dan Soekarno, yang menolak sistem pemerintahan Belanda yang kaku dan diskriminatif. Tindakan mereka beserta beberapa tokoh pergerakan lainnya telah mengguncangkan kestabilan masyarakat Hindia Belanda saat itu. Tindakan mereka yang disebut "radikal" telah menyinggung dan mengguncangkan kestabilan masyarakat Kolonial Hindia Belanda yang sudah mantap mengikuti kepatutan Belanda itu. Sehingga pada waktu itu tidak sedikit kalangan menengah dan bangsawan Indonesia yang merasa terusik dengan gaya nyeleneh Tjipto, Soekarno atau Douwes Dekker dalam memperjuangkan keadilan bagi kaum pribumi.  Tidak aneh apabila pemerintah segera mengganjar mereka atas dasar tuduhan pelanggaran asas rust en orde.

Selalu terdapat dua sisi pada mata uang. Selalu ada segi positif dan negatif dari suatu peradaban. Perlu diakui bahwa pasca kemerdekaan, masyarakat Indonesia berusaha mendobrak segala batasan perilaku yang selama ini diterapkan kepada mereka. Segala hal yang berbau Belanda berusaha dihilangkan termasuk formalitas ala Hollands Fatsoen. Namun disayangkan, beberapa hal positif yang terkandung dalam Fatsoen turut dihilangkan seperti tata perilaku, kedisiplinan, dan keteraturan. Sebaliknya, Sisi negatif Fatsoen seperti formalitas berlebihan yang diterapkan ketika menghadap pejabat malah dipertahankan. Akibatnya, ketika masyarakat mengalami degradasi moral seperti saat ini, kepercayaan mereka terhadap norma dan institusi menjadi hilang. Kehendak pribadi menjadi penguasa atas segalanya menghasilkan kekacauan di masyarakat. Lantas apakah fatsoen perlu diberlakukan lagi?




Tidak ada komentar:

Posting Komentar