Rabu, 31 Oktober 2012

SEJARAH ATHEISME DAN PEMIKIR BEBAS ISLAM

Tulisan Asli : Kupret El-Kazhiem
Media kompasiana.com

Istilah mulhid sebenarnya tidak cocok untuk diartikan sebagai ateis, tetapi mungkin bisa dibilang sebagai “Penyimpang” yang beda-beda tipis artiannya dengan istilah bid’ah atau heretic. Dalam sejarah Islam, terdapat sejumlah orang dan kelompok yang digolongkan sebagai para penyimpang. Katalog mulhid ini terus dipelajari dan ditransmisikan dari generasi ke generasi agar umat Islam selalu mengingat bahwa mereka-mereka yang disebut dalam katalog heresiografi itu adalah sebagai penyimpang agama. Akan tetapi, ada sejumlah orang yang mau mengkaji tentang mereka dan mengangkat pemikiran mereka, di antaranya dua penulis yang satunya berasal dari Timur Tengah dan satunya dari Barat.
Buku pertama ditulis oleh Abdurrahman Badawi.


Judul asli Min Tarikh al-ilhad fi al-Islam.
Judul terjemahan Sejarah Ateis Islam.
Penerbit LKIS, 2003
Buku kedua ditulis oleh Sarah Stroumsa.
Judul asli Freethinkers of Medieval Islam: Ibn ar-Rawandi, Abu Bakr ar-Razi and Their Impact of Islamic Though.
Judul terjemahan Para Pemikir Bebas Islam: Mengenal Pemikiran Teologi Ibn ar-Rawandi dan Abu Bakr ar-Razi.
Penerbit LKIS, 2006

Pada buku pertama karya Badawi disuguhkan mengenai sejarah generasi para mulhid yang sudah ada sejak abad ke-3 dan ke-4 Hijriah seperti gerakan Ibn al-Muqaffa’ dan Abu Isa al-Warraq. Badawi membedakan antara ateisme Barat yang diekspresikan oleh Nietzsche dengan “Tuhan telah mati”-nya dan Ateisme Yunani klasik bahwa “Dewa-dewa yang bersemayam di tempat keramat telah mati” dengan istilah mulhid, atau jika mau dibilang ateisme Arab, yang berangkat dari “Pemikiran tentang kenabian dan para Nabi telah mati”. Mengapa demikian? karena para nabilah yang memainkan peran mediator dalam kehidupan beragama masyarakat Arab.

Beberapa agama telah melewati dan melintasi peradaban Arab seperti Manawi (Manicheism), Yahudi, Zoroaster, dan termasuk Islam. Semuanya bertumpu dan berpusat pada ide tentang kenabian atau para Nabi. Di dalam Islam, keberadaan Tuhan dan agama akan menjadi ada karena faktor penting agen kenabian. Oleh karena itu, yang mereka kritisi adalah mengenai persoalan kenabian dan para Nabi. Tidak seperti ateisme Barat yang muncul belakangan yang mengkritisi langsung persoalan ketuhanan. Badawi merinci beberapa prinsip yang dibawa para mulhid dalam sejarah Islam;  

Pertama, kecenderungan penggunaan akal (rasionalisme) sebagai penguasa serta penentu pertama dan terakhir di mana tidak ada yang berhak menolak serta menganulir keputusannya terhadap segala sesuatu. 

Kedua, ide yang mengatakan bahwa manusia berkembang secara progresif dan berjalan terus menerus. Pemikiran ini ditegaskan khususnya oleh Jabir Ibn Hayyan yang berseberangan dengan pemikiran umum kaum Sunni bahwa segala ilmu berasal dari Nabi (Hadis dan wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Nabi seperti al-Qur’an). Semakin jauh suatu masa dari Nabi maka ilmu pengetahuan akan semakin merosot. Tentunya Jabir Ibn Hayyan menentang hal tersebut karena prinsip progresifitas manusia.

Ketiga, adalah kecenderungan manusia yang mengarahkan pada perbaikan nilai-nilai kemanusiaan murni (humanisme) dalam hubungannya dengan nilai-nilai ketuhanan dan kenabian. Seperti kelompok para penyair yang dikenal dengan nama Ishabah al-Mujjan (Paguyuban Manusia Jenaka) yang dikenal salah satunya yaitu Abu Nuwas dan Basysyar bin Burd.

Keempat, tuntutan terhadapa kebebasan dengan segala harganya tanpa menghiraukan konsekuensi apa saja yang mungkin ditimbulkannya. Maka, kaum mulhid pun maju mengumumkan pandangan-pandangan konstruktif mereka dengan terus terang dan penuh keberanian meskipun harus berhadapan dengan ancaman penguasa khalifah. Kebanyakan mereka memilih sebagai martir sebagai tebusan bagi kebebasan berpikir sebagaimana dialami Ibn al-Muqaffa’, Salih bin Abd al-Quddus, dan tokoh lainnya.

Kalau Badawi menyandingkan mulhid dengan ateisme Barat dan Yunani yang seolah ingin menyetarakan (walau sesungguhnya berbeda) posisi mereka dengan kelompok ateis, maka Stroumsa menjuluki mereka sebagai para pemikir bebas atau apa yang disebut as-Syahrastani dalam buku Milal wa Nihal sebagai al-Istibdad bi ar-Ra’yi yang diterjemahkan oleh Daniel Gimaret sebagai Libre Pensee atau pemikiran liberal. Sebenarnya ada penulis lain yang juga membuat katalog heresiografi selain as-Syahrastani yang mana buku Milal wa Nihal-nya sangat populer bahkan sampai sekarang, antara lain yaitu az-Zamakhsyari yang menulis al-Kasyaf ‘an Haqaiq at-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh at-Tanzil. Az-Zamakhsyari yang wafat sekitar 539 Hijriah itu berpendapat bahwa secara umum pelaku bid’ah disebut sebagai Zanadiq atau bentuk tunggalnya Zindiq. Akan tetapi, Zindiq merupakan istilah yang merujuk kepada penganut dualisme Manichean. Adapun seseorang dijuluki sebagai mulhid bukan karena ia meninggalkan satu agama untuk agama yang lainya, melainkan karena ia mengadopsi sistem yang menyimpang dari semua agama, atau menyimpangkan mazhabnya dari semua agama, tidak beralih dari satu agama ke agama yang lain.

Akan tetapi, Stroumsa berpendapat bahwa istilah ateis tidak tepat karena kritik mereka tidak pernah terkait dengan gagasan tentang penolakan terhadap eksistensi Tuhan. Dalam bukunya Stroumsa membahas lebih mendalam dua tokoh mulhid atau pemikir bebas Ibn ar-Rawandi yang pemikirannya tertuan dalam buku karyanya az-Zumurrud dan Abu Bakr ar-Razi dengan karya-karyanya seperti Makhariq al-Anbiya’, Hiyal al-Mutanabbiyyin, Fi Naqdh al-Adyan, dan Kitab al-’Ilm al-Ilahiy. Kajian mengenai dua tokoh ini menjadi menarik karena selama ini umat Islam selalu disuguhkan dengan pembacaan dari orang-orang yang berseberangan dengan keduanya. Sementara itu, karya-karya keduanya hampir sulit ditemukan di abad modern ini, entah karena dibumihanguskan atau memang tidak ditransmisikan dari generasi ke generasi. Kebanyakan karya mereka tinggallah kutipan-kutipan yang disebutkan oleh para lawan mereka. Oleh karena itu, hasil yang dicapai tidak mencerminkan kata final tentang ke-heretik-an kedua tokoh ini. Kajian terhadap fenomena pemikiran mereka dapat dikatakan baru bersifat rekonstruktif mengenai fakta dua tokoh ini.

Stroumsa berusaha mendiskusikan penggalan-penggalan itu untuk kemudian dibicarakan dan ditimbang mana yang lebih mendekati kelayakan untuk menggambarkan citra keduanya, dengan tetap mengandalkan kutipan-kutipan yang telah dianggap sebagai benar-benar berasal dari tulisan kedua tokoh tersebut. Demikian pula dengan kajian-kajian yang dilakukan oleh para peneliti lainnya. Paling tidak agar pembaca sesudahnya dapat melihat posisi pemikiran mereka dalam mainstream pemikiran Islam, pengaruh pemikiran mereka terhadap generasi belakangan, dan juga pengaruh mereka terhadap pemikiran monoteisme secara keseluruhan.
---------------------------------------------------------------------
PEMIMPIN BESAR REVOLUSI REPUBLIK BADJINGAN
http://abdulmuhtadin.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar