Oleh : Muhammad Ryzki Wiryawan
Sejarawan Muda, Aktivis Barisan Putera Sunda-GEMA-JABAR (Klab Aleut Bandung)
Dalam posting sebelumnya telah dijelaskan mengenai “Hollands Fatsoen”, sisa peradaban Belanda yang masih membekas dalam kejiwaan bangsa ini. Fatsoen yang
bisa diartikan sebagai etika formalitas ternyata selain memiliki sisi
positif juga memiliki sisi negatif yaitu resistensi terhadap segala
sesuatu yang bersifat “tidak normal” atau perubahan radikal. Selain itu
menurut Subagio Sastrowardoyo, masih ada dua sifat lagi yang menjadi
warisan Belanda, yakni Hollands Denken dan Kankergeest.
Hollands Denken bisa diartikan sebagai cara berpikir
orang-orang Belanda di zaman penjajahan dianggap tipikal bagi bangsa
mereka, yaitu diwujudkan dalam sikap mereka yang terlalu mementingkan
hal-hal remeh dan tidak berani menanggap atau merencanakan sesuatu
secara besar-besaran.
Cara berpikir ala Hollands Denken berlawanan dengan gaya berpikir Think Big
ala Amerika. Apabila cara berpikir orang Belanda hanya berkutat pada
hal-hal kecil, maka cara berpikir orang Amerika tidak tanggung-tanggung
hendak menghasilkan sesuatu yang besar-besaran, baik dalam bentuk
gagasan maupun struktur ciptaan. Oleh karena itulah dalam satu
kesempatan Presiden Soekarno pernah mengajak bangsa Indonesia untuk
meninggalkan apa yang disebut dengan Hollands Denken. Soekarno memang dikenal sebagai seorang pemimpin dengan visi yang sangat jauh.
Soekarno melahirkan perlawanan terhadap Hollands Denken
lewat karya-karyanya yang luar biasa. Ia menyukai sensasi luar biasa
yang dihasilkan dari aksinya. Filsafat Pancasila diprogandakan ke
seluruh dunia lewat pidatonya di PBB, Stadion olah raga dan Masjid
terbesar di Asia Tenggara didirikannya di Jakarta, Konferensi
Asia-Afrika yang mengejutkan kalangan imperialis berhasil diadakan
sepuluh tahun setelah negara ini merdeka, selain itu berkali-kali
Soekarno berkeliling dunia bersama rombongan besar pejabat untuk
menguatkan eksistensi Indonesia di luar negeri. Berbagai proyek ini
memang dinilai sebagai politik mercusuar semata, namun harus diakui
semua itu merupakan upaya Soekarno untuk memperkenalkan konsep “Big Thinking” pada bangsa ini.
Gaya berpikir demikian berbeda sekali dengan kecenderungan politik Belanda di Indonesia yang dilandasi Hollands Denken. Dalam politik, cara berpikir orang Belanda itu terwujud dalam sebutan kruidenierspolitiek atau
politik tukang meracik bumbu. Selaku pedagang kecil-kecilan itu Belanda
terlalu takut merugi dalam usahanya. Dalam politik kolonialnya,
pemerintah Belanda tidak berani terlalu banyak memberi konsesi dalam
perundingan dengan pimpinan nasionalis Indonesia. Kemajuan rakyat juga
dilakukan dengan sangat hati-hati supaya tidak menimbulkan resiko dan
ancaman bagi kedudukan bangsa Belanda itu sendiri. Terlihat dalam sikap
mereka yang setengah hati dalam usahanya memberi pendidikan bagi segenap
bangsa Indonesia.
Gaya politik yang sama ditunjukan pasca kemerdekaan bangsa ini.
Belanda sengaja mengulur-ulur waktu dan keputusan perundingan dengan
berkali-kali melanggar perjanjian yang telah dicapai. Kelihaian mereka
untuk mengutak-atik hukum dan bahasa selalu digunakan hanya
langkah-langkah kecil saja yang bisa dihasilkan pemerintah Belanda untuk
menahan gelora kemerdekaan Indonesia.
Perlu diakui bahwa Hollands Denken masih membekas pada cara
berpikir bangsa Indonesia utamanya pada para birokrat dan pengambil
kebijakan yang belum mampu berpikir “think big” dan hanya
berkutat pada mempermasalahkan hal-hal kecil. Dalam politik
kecenderungan ini terlihat lebih jelas lagi lewat sikap partai politik
yang hanya mementingkan pencapaian kekuasaan alih-alih pembangunan
bangsa.
Kankergeest
Karakter orang Belanda lainnya terlihat dalam bentuk Kankergeest,
yaitu ciri pribadi bangsa mereka yang gemar mengomel dan menggerutu.
Entah apa yang menjadi latar belakang sifat mereka yang demikian. Boleh
jadi mereka pada dasarnya mereka kurang sabar menghadapi segala sesuatu
di sekelilingnya. Bisa jadi karena mereka tidak puas dengan keadaan
masyarakatnya sendiri di Belanda. Namun dari sudut ini bisa disimpulkan
bahwa kankergeest merupakan reaksi terhadap Hollands Fatsoen
dan Hollands Denken, ciri-ciri tipikal bagi orang Belanda. Di dalam hal
ini jiwa penggerutu mendapatkan kaitannyadengan kecondongan batin bangsa
Belanda yang diwakili sikap masyarakat yang kleinburgerlijk, yaitu memiliki pandangan dunia yang sempit.
Kankergeest dapat dilihat dengan jelas pada pengarang
Belanda terkenal, Douwes Dekker alias Multatuli, yang menulis roman Max
Havelaar (1860). Dalam karya tersebut tersirat gerutuannya terhadap
tingkah laku kleinburgelijk orang sebangsanya yang diperlihatkan dalam Hollands Fatsoen dan Denken. Ia mencela sifat khas peradaban Belanda yang digambarkan dalam tokoh Droogstoppel dan Slijmering.
Namun sebaliknya, kecenderungan menggerutu itu terbit dari sikap tidak berdaya untuk memecahkan masalah. Artinya kankergeest
muncul dari norma kepatutan dan cara berpikir orang Belanda yang
enggan keluar dari garis-garis yang telah ditentukan. Dengan demikian
juga penggerutu adalah satu paket dalam peradaban yang bersifat kleinburgerlijk juga.
Tidak sulit untuk menemukan jejak kankergeest pada jiwa
bangsa ini. Gerutuan-gerutuan tanpa makna bisa kita temukan di kehidupan
sehari-hari maupun di media sosial, berusaha menyalahkan pihak lain
atas masalah yang dialaminya. Cara pandang Kleinburgerlijk juga
ditunjukan lewat sikap resistensi terhadap gelombang perubahan yang
tengah muncul, terutama di pemerintahan. Diperlukan kesadaran diri
tingkat tinggi untuk mengkoreksi diri sendiri dan tentunya tidak mudah
untuk menghilangkan peninggalan kolonial yang masih melekat pada diri
kita. Namun, kecenderungan masyarakat pada akhir-akhir ini yang mulai
bisa menerima tokoh-tokoh pemimpin bergaya nyeleneh mungkin
bisa dianggap sebagai suatu perkembangan yang positif dalam rangka
melepaskan diri dari sikap negatif peninggalan masa kolonial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar